IMPLEMENTASI UJIAN NASIONAL
DAMPAK DAN PELUANG
Oleh:
Muhammad Ali,S.Pd.I
Pendahuluan.
Perubahan paradigma dalam pendidikan nasional membawa implikasi yang cukup kompleks dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan, hal ini ditetapkanya standar hasil ( UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas dan PP No. 19/2005 tentang SNP ) yang mencakup kompetensi lulusan yang dicapai melalui evaluasi atau penelitian. Dengan demikian maka jenjang pendidikan dasar dan menengah, evaluasi tahap akhir dilakukan melalui Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional ( UASBN ) dan Ujian Nasional (UN). Dalam sejarah pelaksanaan kebijakan pendidikan di Indonesia, sebelumnya telah diterapkan metode yang dikenal dengan Ujian Negara (1971-1972), ujian sekolah ( 1972-1992 ), dan Ebtanas ( 1992 – 2002 ).
Tujuan UN adalah untuk mengukur pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran tertentu pada jenjang pendidikan menengah, yaitu SMP/MTs dan SMA/MA , sementara UASBN dilaksanakan pada jenjang SD/MI/SLB adalah untuk menilai pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Instrumen UN Sebagai Penentuan Kelulusan Berpotensi Merugikan Siswa.
Ujian atau tes sebenarnya berfungsi sebagai alat rekam atau alat prediksi. Sebagai alat rekam untuk memotret, tes biasanya diselenggarakan untuk sejumlah materi dan keterampilan yang sudah diajarkan/dipelajari sesuai dengan tujuan kurikulum sehingga guru dapat menentukan langkah-langkah program pengajaran berikutnya.
Berdasarkan pasal 58 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No : 20 Tahun 2003, gurulah yang memiliki hak prerogratif melakukan evaluasi belajar terhadap siswa. Dengan kata lain, evalusi belajar siswa dalam satuan pendidikan bukan dilakukan lewat mekanisme ujian nasional (UN), namun dilakukan oleh guru sekolah. Adanya kebijakan UN, Pemerintah dinilai tidak memedulikan dispartitas mutu pendidikan di tanah air. Ironisnya terjadi dengan penerapan UN yang distandardisasi secara nasional, padahal masih terdapat kesenjangan kualitas pendidikan antar sekolah di negeri ini. Dalam hal ini penerapan UN memang menimbulkan keruyaman dunia pendidikan. Kenyataan empiris menjukkan orientasi sekolah mengejar target lulus UN, sampai-sampai diadakan jam tambahan untuk memperdalam materi pelajaran yang diujikan dalam UN diselenggarakan pihak sekolah, sehingga seolah-olah menyampingkan mata pelajaran yang tidak di ujikan. Sekolah sebagai institusi pendidikan telah kehilangan roh untuk mendidik siswa, padahal jelas, sekolah memiliki tanggungjawab moral untuk mengembangkan kecerdasan yang tidak hanya pada aspek kognitif, tepai juga kecerdasan afektif dan spiritual siswa.
Peluang UN Sebagai Instrumen Masuk PTN.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2009 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 68 disebutkan nilai kelulusan ujian nasional Sekolah Menengah Atas (SMA) dan atau sederajat bisa menjadi salah satu dasar masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN). PTN tidak lagi mengadministrasikan soal-soal yang sudah diujikan dalam ujian nasional namun PTN hanya melakukan selksi berupad tes bakat skolastik, intelegensi, bakat, minat, dan kesehatan sesuai dengan criteria satuan pendidikan.
Sumadi Suryaberata (1987) mengemukakan asumsi bahwa tes hendaknya mempunyai distribusi taraf kesukaran yang luas, namun tidak efektif sehingga lebih baik apabila soal-soal tes mempunyai disteribusi taraf kesukaran yang sempit di sekitar rata-rata. Pada pengadministrasian tes adaptif soal tes yang ada semuanya efektif dan optimal dalam mengukur kemampuan peserta tes. Jika peserta tes dapat mengerjakan dengan benar suatu soal, maka akan diberikan soal yang mempunyai tingkat kesukaran yang lebih tinggi, bergitu juga kalau gagal mengerjakan maka akan diberikan soal tes yang mempunyai tingkat kesukaran soal yang lebih rendah.
Oleh karena itu pada teori Item Response Theory (IRT) dan Classical Test Theory (CTT) Cognitive Diagnostics Model (CDM). Pada CTT ciri soal bergantung pada kelompok uji sehingga nilai –nilai statistik yang diperoleh bergantung pada sampel, akibatnya jika kelompok uji berubah maka nilai statistik pada soal dan tes akan berubah. Sebaliknya, pada IRT sekali soal telah terkalibrasi maka nilai yang didapat akan invariant di mana tidak dipengaruhi oleh kelompok uji sehingga nilai soal yang dikenal sebagai parameter soal tidak berubah.
Menurut Hambleton, et al. (1991) pada IRT, karakteristik soal yang mengacu pada parameter yang independen terhadap kelompok uji sehingga cocok dengan tes adaptif. Fungsi kemampuan berbanding terbalik pangkat dua dari galat baku penaksiran parameter kemampuannya. Artinya jika fungsi informasi soal besar, maka galat baku penaksiran parameter kemampuan akan kecil. Jika peserta tes mengerjakan dua soal atau lebih, di mana selisih galat baku penaksir parameter kemampunya lebih kecil dari criteria yang ditetapkan, maka pemberian soal dihentikan atau ada criteria lain sehingga secara matematik taksiran kemampuan peserta tes sudah ditemukan.
Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan antara lain :
1. Kebijakan Ujian Nasional, pemerintah dinilai tidak memedulikan disparitas mutu pendidikan di tanah air.
2. Ironi terjadi dengan penerapan UN yang distandarisasi secara nasional, padahal masih terdapat kesenjangan kualitas pendidikan antar sekolah di negeri ini.
3. UN telalu sederhana jika dijadikan parameter untuk mengukur keberhasilan pendidikan, dan hasil pengukuranya akan bias.
4. Sebaiknya standar kelulusan nasional dijadikan sebagai pemacu semangat masing-masing sekolah/daerah, dan berpeluang untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan di sekolah/daerahnya.
5. Dengan mempertimbangkan kulaitas pendidikan yang belum merata, kemendiknas juga perlu menetapkan standar kelulusan untuk masing-masing daerah.
6. Dengan acual hasil UN, Kemendiknas bisa melakukan penetapan dan perumusan prioritas peningkatan kualitas pendidikan masing-masing daerah.
7. Dan Perlu menjadi perhatian bahwa implikasi negatif dari hasil ujian nasional antara lain, menjadi beban psikologis siswa, memiliki imbas terhadap image sekolah, dan menumbuhkembangkan ketidakjujuran.
gak ada yg lebih susah tah pak soal na......
BalasHapus