Wahyu dan Akal


KEDUDUKAN WAHYU DAN AKAL
DALAM FILSAFAT ILMU
Oleh Muhammad Ali, S.Pd.I
A. PENDAHULUAN

Diantara kemurahan Allah SWT terhadap manusia adalah, Allah tidak saja memberikan sifat yang dapat membimbing dan dapat memberikan petunjuk kepada manusia kearah kebaikan dari waktu kewaktu, tetapi Allah juga mengutus seorang rasul kepada umat manusia dengan membawa kitab dari Allah, dan menyuruh mereka beribadah hanya pada Allah saja, menyampaikan khabar gembira dan memberi peringatan.
            Allah menghendaki agar risalah Muhammad SAW muncul di dunia ini. Maka diutuslah beliau disaat manusia sedang mengalami kekosongan para rasul, untuk menyempurnakan risalah saudara-saudara pendahulunya (para rasul) dengan syariatnya yang universal dan abadi serta dengan kitab yang diturunkan kepadanya , yaitu Al- Qur’anul Karim.
            Menurut Harun Nasution : Islam adalah agama yang ajarannya diwahyukan Allah SWT kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul,  Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia, seumber dari ajaran-ajaran Islam tersebut adalah Al-Qur’an dan Hadits. [1]
            Menurut Manna Khalil Al- Qattan.[2] Kata wahyu secara etimologi adalah bentuk masdar ( infinitif ) dari kata auha yang memiliki dua arti yaitu tersembunyinya dan cepat. Dengan demikian dikatakan wahyu adalah pemberitahuan secara sembunyi dan cepat, khusus di tujukan kepada orang yang diberitahu saja tanpa diketahui orang lain . Secara terminologis yang dimaksud dengan wahyu adalah kalam Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul.
            Sedangkan Akal (filsafat) berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang lazim diartikan dengan cinta kearifan. Dari akar kata Philos ( cinta ) dan Shophia artinya kearifan. Tetapi pengertian shopia sebenarnya bukan sekedar berarti kearifan tetapi mempunyai arti yang sangat luas, yaitu meliputi “ kearifan kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebijakan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan sosl-soal praktis”.[3]
   Dari definisi wahyu dan filsafat di atas maka asumsi penulis bahwa akal (filsafat) bagian dari jalan usaha untuk memahmi atau mengerti alam dunia ini dalam hal makna dan nilai-nilainya. Karena filsafat adalah merupakan pendekatan yang menyeluruh terhadap kehidupan dunia, suatu bidang yang berhubungan erat dengan bidang-bidang ilmu dan pemahaman manusia. Filsafat berusaha untuk menyatukan hasil-hasil ilmu dan permahaman tentang moral, dan wahyu (agama).   
Berangkat dari pendapat dan fenomena di atas maka dalam makalah ini penbulis akan membahas tentang : “ Kedudukan Wahyu dan Akal (filsafat) Dalam Filsafat Ilmu” .
B.PEMBAHASAN

            Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam objek, yitu objek material dan objek formal. Objek matreal adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek matreal ilmu kedokteran. Adapaun objek formal adalah cara pandang tertentu tentang objek matreal tersebut, seperti pendekatan empiris dan induktif dalam ilmu kedokteran
            Filsafat, sebagai proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki objek material dan objek formal. Objek material. Filsafat adalah segala yang ada , segala yang ada mencakup “ ada yang tampak “ dan ada yang tidak tampak “ ada yang tampak adalah alam fisik/empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagaian filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu : yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, rasional, redikal, bebas, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakekatnya.[4]
            Sementara  Syeh Muhammad Rasyid Rida dalam bukunya al- Wahyul Muhammadi, mengemukakan bahwa wahyu ( agama ) adalah suatu ilmu yang dikususkan untuk para Nabi dengan tidak mereka usahakan dan tidak mereka pelajari, dengan definisi tersebut beliau juga mengemukakan perbedaan antara wahyu dengan ilham, ilham adalah intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta tanpa mengetahui dari mana datangnya, sedangkan wahyu adalah sesuatu yang diyakini bahwa pengetahuan itu datangnya dari Allah dengan melalui perantara atau tidak .[5]
            Dari dua definisi diatas maka penulis berasumsi bahwa wahyu ( agama) adalah suatu  sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan yang dibahas dalam wahyu (agama)  adalah eksistensi Tuhan. Hubungan manusia dengan-Nya merupakan aspek matafisika, sedangkan manusia sebagai makhluk dan bagian dari benda alam termasuk dalam kata gori matafisika dan fisika. Namun, titik tekan pembahasan akal terhadap wahyu ( agama ) lebih terfokus pada aspek metafisikanya ketimbang aspek fisiknya, aspek fisik akan lebih terang atau jelas diuraikan dalam ilmu alam, seperti biologi dan psikologi serta antropologi.
            Sementara Harun Nasution memberikan pengertian Akal dan wahyu adalah : Akal sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan. Wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.[6]Oleh karena itu maka Islam memberikan kedudukan Istimewa   terhadap akal . Allah memerintahkan kepada manusia  untuk menggunakan akalnya dan Allah mencemooh manusia yang tidak mau
 menggunakan akalnya . Allah berfirman
   “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat  tanda-tanda bagi  orang- orang yang berakal. (QS.3 : 190 ).[7]
            Dalam ayat yang lain Allah menegaskan dan mengecam bago orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya.
  Sesungguhnya binatang atau makhluk  yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah : orang-orang yang pekak dan tuli, yang tidak mengerti apa-apapun  ( QS.8 : 22 ).[8]
            Ayat –ayat tersebut merupakan cemoohan terhadap mereka yang tidak menggunakan akalnya. Konseksuansi logis dari janji Allah tersebut bahwa yang tidak mau mengerti, atau tidak mau mengembangkan ilmu pengetahuan, berarti mereka adalah hamba terburuk dalam pandangan Allah .  
            Dalam hal ini ada dua  pendapat mengenai pungsi wahyu dan akal yang dikutif oleh Harun Nasution dalam bukunya Teologi Islam.[9]
Diantaranya menurut pendapat Kaum Mu’tazilah, bahwa wahyu tidak mempunyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan menyembah Tuhan , sedangkan akal dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Menurut Abd al-Jabbar akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dalam garis besarnya, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti, manupun mengenai hidup manusia di dunia, sementara wahyu yang menentukan buruk atau baiknya perbuatan manusia.
Dari pendapat di atas maka penulis berasumsi bahwa tidak semua yang baik dan tidak semua yang buruk dapat diketahui akal, untuk mengetahui itu, akal memerlukan pertolongan atau bantuan wahyu, dengan demikian bahwa wahyu menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk serta berfungsi memberi imformasi memperkuat apa-apa yang telah  diketahui akal, dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal, dan  dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.
            Filsafat ilmu adalah suatu yang berbeda, tapi keduanya bertolak pada sumber yang sama yaitu rasio manusia. Filsafat yang sangat abstrak dan luas atau menyeluruh sulit untuk dianalisa. Oleh karenanya diperlukan alat atau metode untuk menggali kebenaran rasional itu. Ilmu sebagai hasil proses rasio analisis (aktivitas penelitian) dengan menggunakan metode-metode membentuk rasio tersistematis sangat membantu bagimana memahami filsafat itu sendiri baik pengertian bahkan ruang lingkupnya.
            Aristoteles menerangkan bahwa filsafat adalah the science of first principles, yaitu ilmu tentang asas-asas yang pertama. Sedangkan ilmu berkembang dalam berbagai aspek sesuai bidang dan cakupannya yang menjadi objek keilmuannya dalam pengertian lebih realis dan konkrit serta spesifik. Kembali pada filsafat, berfikir yang arif atau bijaksana dengan tujuan akhir semua itu tidak lepas dari kehidupan manusia yang baik, di sini dapat ditarik suatu analisis bahwa filsafat sebagai sarana pemersatu sekian banyak pemikiran (rasio) dan atau ilmu yang ada .Sedang pikiran yang aneka ragam dan ilmu-ilmu itu sekedar alat untuk mencapai tujuan filsafat.
            Sementra filsafat ilmu sebgai bagian dari filsafat memiliki ruang lingkup yang mencakup dua pokok bahasan yaitu “ pertama membahas” sifat pengetahuan ilmiah dan “kedua membahas” cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah”.[10]
            Robert Ackerman “ Philosophy of science in one aspect a critique of current scientific opinions by comparisonto provenpast view, but such aphilosphy of science is clearly not a discipline autronomous of actual scientific paractie.” ( Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.[11]
            Lewis White Reck “ Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole “.[12]
            Berdasarkan model pendekatan, filsafat ilmu dapat dikelompokan pula menjadi dua yaitu:
1.      Filsafat Ilmu terapan, yaitu Filsafat Ilmu yang mengkaji pokok pikiran kefilsafatan yang melatar belakangi pengetahuan normavtive dunia ilmu. Disebut juga sebagai Deskripsi pengetahuan yang menyangkut:
a.       Pengetahuan yang berupa pola pikir hakikat keilmuan.
b.      Pengetahuan mengenai model praktek ilmiah yang diturunkan dari pola pikir.
c.       Pengetahuan mengenai berbagai sarana ilmiah.
d.      Srangkaian nilai yang bersifat etis yang terkait dengan pola piker dengan model praktek yang khusus. Misal:Etika Profesi.
2.      Filsafat Ilmu Murni, yaitu bentuk kajian filsfat ilmu yang dilakukan dengan menelaah secara kritis dan eksploratif terhadap materi kefilsafatan, membuka cakrawala terhadap kemungkinan berkembangnya pengetahuan normative yang baru.[13]
Conny Semiawan, mengungkapkan tentang ciri dan cara kerja Filsafat Ilmu.
1). Berkenaan dengan pengkajian konsep-konsep, mengandaian-pengandaian, dan metode-metode ilmiah. Dengan demikian, filsafat ilmu erat kaitanya dengan pengkajian analisis konseptual dan bahasa yang digunakan, dan juga dengan perluas serta penyusunan cara-cara yang lebih ajeg (consistent) dan lebih tepat untuk memperoleh pengetahuan.
2).  Menyelidiki dan membenarkan ciri-ciri penalaran pengetahuan ilmiah apapun, baik dalam proses pembentukannya maupun sebagai suatu hasil
3). Mengkaji bagimana cara berbagai ilmu berada satu dari yang lain, saling berkaitan satu dengan yang lain, dan memperlihatkan kesamaan antara yang satu dengan yang laian, tanpa mengabaikan derajat paradigm metode ilmiah masing-masing.
4).  Menyelidiki berbagai dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal berikut
a).  Persepsi manusia akan kenyataan (reality )
b).  Pemahaman berbagai dinamika alam
c). Saling keterkaitan antara logika dengan matematika, dan antara logika dan matematika pada satu sisi dengan kenyataan pada sisi lain.[14]
Bila filsafat ilmu terapan berangkat dari ilmu khusus menuju kajian filosofis maka filsafat ilmu murni mengambil arah sebaliknya yaitu berangkat dari kajian filosofis terhadap asumsi-asumsi dasar yang ada dalam ilmu misalnya terkaiat dengan anggapan dasar tentang ralitas dalam ilmu-ilmu khusus dan konsekuennsinya pada pemahaman terhadap relitas secara keseluruhan.
Maka oleh karena itu filsafat ilmu dapat diumpamakan merupakan sebuah lingkaran yang bermulai pada satu titik dan kembali pada titik tersebut namun penentuan titik itu sendiri menjadi bahasan dalam filsafat, sehingga masing-masing lapangan filsafat tergantung pada lapangan-lapangan yang lain bagi penghimpunannya.
Adapun Louis O. Kattsoff.[15] Memberikan gambaran mengenai saling berhubungan tersebut, adalah diandaikan dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang bersifat kesusilaan sebagai berikut : Apakah manusia bertanggungjawab atas perbuatanya ? Sehingga muncullah dihadapan kita sejumlah pertanyaan yang harus dijelaskan terlebih dahulu, sebelum pelayanan itu dapat diberi jawaban yang bersifat sementara. Apakah manusia itu ? ini merupakan pertanyaan antropologi kefilsafatan . Apakah perbuatn-perbuatannya itu ? ini menyangkut pertanyaan tentang sebab akibat, dan karenanya merupakan pertanyaan tentang hakekat kenyataan. Bagaimanakah caranya untuk dapat menentukan hal-hal yang merupakan perbuatannya ? ini dalam pertanyaan tentang metode, dan demikianlah seterusnya.
Pada akhirnya, hal inilah yang menyebabkan seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandangan ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakekat ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama, dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaaan kepada dirinya. Sehingga ilmuan dengan pengetahuannya yang memandang rendah kepada pengetahuan lain, adalah ilmuan yang tertolak oleh pemikirannya sendiri atau dia berada di bawah tempurung disiplin keilmuannya sendiri , dia tidak menyadari ada lapangan lain di luar kotaknya.
            Pembahsan pertama berhubungan erat dengan filsafat pengetahuan atau Epistimologi yang menyelidiki tentang syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengetahuan manusia. Sedangkan pembahasan kedua berhubungan dengan cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah. Filsafat ilmu erat kaitanya dengan Logika dan metodologi.
C. KESIMPULAN
Dari uraian di atas penulis dapat  menyimpulkan :
1.      Wahyu adalah ajaran-ajaran yang di turunkan Allah kepada Nabi-Nya salah satunya adalah (Al-Qur’an) yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
2.      Pemahaman Akal (filsafat) yaitu proses mencari hakekat kebenaran, mencari kebenaran dengan cara berfikir menimbulkan logika, mencari kebenaran dengan cara berperilaku menimbulkan etika.
3.      Kedudukan wahyu dan akal Akal sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan. Wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan
4.      Filsafat ilmu sebuah metode untuk mencari kebenaran rasio ( akal )

DAFTAR ISI
Conny Semiawan, Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, Jakarta, PT Mizan Publika.Tp
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, Jakarta, 2007.
Dikutip oleh Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta rajawali pers, 2009.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI-Press,Tp
Hasbi Ash- Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir, Jakarta, Bulan Bintang.Tp
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986.
http/Filsafat Ilmu/www.addtoany.com
Lasiyo dan Yuwono, Pengantar Ilmu filsafat, Yogyakarta:Leberty, 1985.
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Lantera Antar Nusa.Tp
The Liang Gie, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberti, 1997 .
Tim Dosen Fislafat Ilmu, Filsafat Ilmu ( liberty : Yogyakarta, 2001 .


[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, tp: UI-Press, p , 117
[2] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Lantera Antar Nusa, p. 36-37
[3]  The Liang Gie, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberti, 1997 , p . 29
[4] Lasiyo dan Yuwono, Pengantar Ilmu filsafat, Yogyakarta: Leberty, 1985, p.  6. Dikutip oleh Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta rajawali pers, 2009, p. 1
[5] Hasbi Ash- Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, p.26
[6] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986, p .79
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah Per-Kata, Jakarta, 2007, p .75
[8] Ibid, p. 179
[9] Harun Nasution, Op Cit
[10] Tim Dosen Fislafat Ilmu, Filsafat Ilmu ( liberty : Yogyakarta, 2001,  p.44
[11]http/ Filsafat Ilmu /www.addtoany.com
[12] Ibid, p . 2
[13] Tim Dosen Fislafat Ilmu, Op Cit, p . 45
[14] Conny Semiawan, Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman, Jakarta:  PT Mizan Publika, p . 117
[15]Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, pp .83-84